Dalam pembahasan sebelumnya kita sudah mengetahui bahwa tuntutan tauhidullah (mengesakan Allah) adalah sikap ikhlash (membersihkan diri dari syirik), yakni sikap al-kufru bi-thaghut (ingkar kepada thaghut) dan sikap al-imanu billah (beriman kepada Allah Ta’ala).
Allah Ta’ala berfirman,
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah, 2: 256).
Apakah yang dimaksud At-Thaghut itu?
Kata ‘thaghut’ berasal dari kata ‘thagha’ yang artinya melampaui batas. Perhatikan makna kata tersebut dalam firman Allah Ta’ala berikut ini,
إِنَّا لَمـَّا طَغَى الْمَاءُ حَمَلْنَاكُمْ فِي الْجَارِيَةِ
“Sesungguhnya ketika air melampaui batas, Kami bawa kalian di perahu.” (QS. Al-Haqqah, 69:11)
Abu Ja’far Ath-Thabary rahimahullah menjelaskan pengertian thaghut sebagai berikut,
وَالصَّوَاب مِنْ الْقَوْل عِنْدِي فِي الطَّاغُوت : أَنَّهُ كُلّ ذِي طُغْيَان عَلَى اللَّه فَعُبِدَ مِنْ دُونه , إمَّا بِقَهْرٍ مِنْهُ لِمَنْ عَبَدَهُ , وَإِمَّا بِطَاعَةٍ مِمَّنْ عَبَدَهُ لَهُ , وَإِنْسَانًا كَانَ ذَِك الْمَعْبُود , أَوْ شَيْطَانًا , أَوْ وَثَنًا , أَوْ صَنَمًا , أَوْ كَائِنًا مَا كَانَ مِنْ شَيْء
“Dan yang benar menurutku tentang perkataan thaghut, bahwasannya ia adalah segala sesuatu yang melampaui batas terhadap Allah, lalu diibadahi selain dari-Nya, baik dengan adanya paksaan kepada orang yang beribadah kepadanya, atau dengan ketaatan orang yang beribadah kepadanya. Sesuatu yang diibadahi itu bisa berupa manusia, syaithan, berhala, patung, atau yang lainnya” (Tafsir Ath-Thabary, 5/419).
Para ulama menyebutkan beberapa pengertian thaghut. Diantaranya adalah,
Pertama, asy-syaithan (setan). Makna ini disebutkan dalam firman Allah Ta’ala berikut,
الَّذِينَ آمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.” (QS : An-Nisaa, 4 : 76)
Az-Zamakhsyari menjelaskan ayat diatas sebagai berikut: “Allah Ta’ala memberikan dorongan kepada kaum Mukminin dan menyemangati mereka dengan memberikan kabar kepada mereka bahwasanya mereka itu sedang berperang di jalan Allah, maka Allah-lah pelindung mereka dan penolong mereka. Sedangkan musuh mereka yang berperang di jalan syaithan, maka tidak ada wali bagi mereka kecuali syaithan. Tipu daya syaitan kepada kaum Mukminin itu lebih lemah di bandingkan dengan tipu daya Allah terhadap orang-orang kafir.” (Al Kasyaf, 1/433 Maktabah Syamilah)
Kedua, al-hakimul ja-ir (hakim yang curang/memperturutkan hawa nafsu). Ketiga, al-hukmu (pemerintah [yang tidak menegakkan hukum Allah])[1], Keempat, al-kahinu was sihru (tukang tenung dan tukang sihir). Yakni siapa saja yang menyelisihi ketentuan hukum-hukum Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman,
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa, 4: 60)
Berkaitan dengan ayat ini Al Baghawi menukil perkataan As Sya’bi : “Terjadi permusuhan antara seorang laki-laki dari kalangan Yahudi dan seorang laki-laki munafiq. Lantas berkatalah seorang Yahudi tadi : ‘Kita akan mengambil hukum (meminta keputusan) kepada Muhammad’, ini di karenakan si Yahudi tadi mengetahui bahwa Nabi Muhammad bukanlah orang yang bisa disuap, serta tidak akan pernah condong terhadap salah satu hukum (pilih kasih) ketika mengambil keputusan. Akan tetapi si Munafiq malah mengatakan : ‘Kita mengambil hukum (meminta keputusan) kepada orang Yahudi saja’, ini di sebabkan si Munafiq tadi mengetahui bahwa orang-orang Yahudi biasa menerima suap dan condong terhadap salah satu hukum (pilih kasih) ketika memutuskan. Keduanya pun sepakat, lalu mereka berdua mendatangi salah seorang ‘dukun/ peramal’ di Juhainah dan berhukum (meminta keputusan) kepadanya. Setelah itu turunlah ayat ini.” (Ma’alimu Tanzil, 2/242, Abu Muhammad Al Husain Ibnu Mas’ud Al Baghawi, Dar Toybah Lin Nasyr wa Tauzi, Cet. Ke 4 Th. 1997)
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata,
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ أَبِي بِشْرٍ، عَنْ سَعِيدٍ: “الطَّاغُوتِ: الْكَاهِنُ “
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr: Telah menceritakan kepada kami Ghundar, dari Syu’bah, dari Abu Bisyr, dari Sa’iid : “Thaghut, yaitu dukun” (Nuzhatul-A’yun An-Nawaadhir, hal. 410).
At-Thabary rahimahullah berkata,
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ الأَعْلَى، قَالَ: ثنا دَاوُدُ، عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ، أَنَّهُ قَالَ: ” الطَّاغُوتُ: السَّاحِرُ “
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsanna, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdul-A’la, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Dawud, dari Abul-‘Aliyah, bahwasannya ia berkata : “Thaghut, yaitu tukang sihir” (Tafsir Ath-Thabary, 4/557)
Tags: