Peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia kembali mengingatkan kita pada sebuah fakta sederhana namun agung, kemerdekaan bukanlah hadiah. Ia adalah buah dari pengorbanan, darah, air mata, dan keteguhan jiwa para pendiri bangsa.
Presiden PKS, Almuzzammil Yusuf, dalam upacara kemerdekaan di Kantor DPTP PKS, menegaskan hal ini dengan lugas. Kemerdekaan, kata beliau, bukan sekadar ritual tahunan yang dirayakan dengan upacara dan bendera, melainkan sebuah janji yang harus terus ditunaikan, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pernyataan ini terasa relevan ketika kita mengaitkannya dengan pidato kenegaraan Presiden Prabowo Subianto. Salah satu sorotan terbesar adalah komitmen pemberantasan korupsi sebuah penyakit lama yang masih menggerogoti sendi-sendi bangsa.
Presiden Prabowo berani mengakui kelemahan, bahkan menyebutkan adanya penyelamatan ratusan triliun rupiah APBN yang sebelumnya diselewengkan. Keberanian ini patut diapresiasi, tetapi tentu tak cukup berhenti pada pengakuan.
Di sinilah PKS menegaskan dukungan terhadap agenda legislatif seperti RUU Perampasan Aset. RUU ini, jika disahkan, dapat menjadi terobosan penting untuk memastikan hasil korupsi tidak lagi bersembunyi di balik celah hukum atau rekening tersembunyi.
Lebih jauh, langkah Presiden menghapus tantiem komisaris dan direksi BUMN bernilai puluhan triliun juga menjadi sinyal positif: negara ini butuh reformasi nyata, bukan basa-basi birokratis.
Namun, editorial ini ingin menekankan satu hal, pemberantasan korupsi dan penataan ekonomi bukan sekadar soal administrasi negara, melainkan pemenuhan janji kemerdekaan.
Pasal 33 UUD 1945 jelas mengingatkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara dan harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Fakta adanya ribuan tambang ilegal dengan kerugian ratusan triliun rupiah menunjukkan bahwa janji itu masih jauh dari tuntas.
Di sisi lain, PKS mengirim pesan simbolis yang kuat, menghadirkan pemuda Palestina dalam upacara kemerdekaan.
Tindakan ini bukan sekadar gestur politik, melainkan pengingat bahwa kemerdekaan Indonesia tak pernah lepas dari solidaritas global.
Dahulu, bangsa Arab, termasuk Palestina, menjadi yang pertama mengakui kedaulatan Indonesia. Kini, ketika Palestina masih dirundung penjajahan, sudah sepatutnya kita menggemakan dukungan moral dan nyata bagi mereka.
Rangkaian pesan PKS pada 17 Agustus kali ini menghadirkan tiga dimensi sekaligus, refleksi sejarah, komitmen terhadap reformasi hukum dan ekonomi, serta solidaritas kemanusiaan lintas bangsa.
Tiga hal ini tidak boleh dipisahkan, sebab kemerdekaan sejati hanya bisa berdiri di atas keadilan, kesejahteraan, dan solidaritas.
Indonesia sudah 80 tahun merdeka, tetapi perjalanan menuju cita-cita para pendiri bangsa masih panjang.
Janji kemerdekaan harus terus dihidupkan, bukan hanya dengan upacara, melainkan dengan keberanian politik, konsistensi hukum, dan keberpihakan pada rakyat serta pada semua bangsa yang masih berjuang meraih kebebasan.
Redaksi PKS.id