DI antara riak ombak Laut Natuna, Kepulauan Riau berdiri sebagai provinsi muda yang resmi lahir pada 24 September 2002. Namun, siapa sangka, jauh sebelum hari jadi itu, pulau-pulau di Kepri sudah menjadi saksi sejarah panjang peradaban Nusantara.
Jejaknya bisa ditelusuri ratusan tahun ke belakang. Di Kabupaten Karimun, sebuah batu tua yang dikenal sebagai Prasasti Pasir Panjang menjadi bukti bahwa ajaran Buddha pernah hadir di sini. Para pedagang dari India dan Tiongkok singgah, membawa ajaran, budaya, dan warna baru bagi masyarakat kepulauan.
Pada abad ke-7, gelombang besar sejarah datang. Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Sumatera Selatan berhasil menguasai kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Riau. Namun, ketika Sriwijaya runtuh di abad ke-13, kerajaan-kerajaan Melayu kembali berdiri sendiri, membawa semangat kedaulatan mereka.
Beberapa abad kemudian, nama Kesultanan Johor masuk dalam catatan sejarah. Sekitar tahun 1520-an, wilayah Kepulauan Riau menjadi bagian dari kerajaan besar itu. Riuhnya pelabuhan, ramai perdagangan, dan pertemuan budaya membuat kawasan ini semakin dikenal.
Tahun 1824 menjadi babak baru: lahirlah Kesultanan Riau-Lingga di Pulau Lingga. Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah menjadi penguasa pertama. Dari sinilah Riau berkembang menjadi salah satu pusat penting kebudayaan dan pemerintahan Melayu Islam. Tetapi, masa kejayaan itu perlahan redup ketika Hindia Belanda menancapkan kuasa. Belanda bahkan memperkenalkan mata uang khusus dan menyebut wilayah ini sebagai “Riouw”.
Memasuki era kemerdekaan, Kepulauan Riau bergabung dengan Provinsi Riau di daratan Sumatera. Namun, masyarakat kepulauan tak berhenti bermimpi untuk berdiri sendiri. Perjuangan itu akhirnya terbayar pada 24 September 2002, ketika Kepri resmi menjadi provinsi ke-32 Indonesia.
Kini, Kepulauan Riau terdiri dari tujuh kabupaten/kota: Tanjungpinang, Batam, Bintan, Karimun, Natuna, Kepulauan Anambas, dan Lingga. Selain kaya sejarah, wilayah ini juga menjadi beranda depan Indonesia yang berbatasan langsung dengan Singapura, Malaysia, Vietnam, hingga Kamboja.
Tentang nama “Riau” sendiri, ada tiga kisah. Ada yang bilang dari kata Portugis rio (sungai). Ada pula yang menyebut dari kata Arab riahi (air laut). Namun, masyarakat setempat lebih suka percaya bahwa Riau berasal dari kata riuh, sebuah gambaran sederhana tentang betapa ramainya aktivitas di tanah Melayu nan maritim ini.
Hari ini, setiap kali 24 September tiba, Kepulauan Riau bukan hanya merayakan hari jadi administratif. Lebih dari itu, ia merayakan perjalanan panjang dari riak ombak sejarah dari Sriwijaya, Johor, Riau-Lingga, hingga akhirnya berdiri tegak sebagai provinsi sendiri.***
Referensi:
- Suwardi, MS. (1991). Budaya Melayu dalam Perjalannya Menuju Masa Depan. Pekanbaru: Yayasan Penerbit MSI-Riau.
- Suparlan, Parsudi. (1995). Orang Sakai di Riau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.